Konsisten Menjaga Cita Rasa Selama Empat Generasi
Oleh
Syafnijal Datuk Sinaro
BANDAR LAMPUNG-Kopi Bubuk Sinar Baru, Cap “Bola Dunia” menjadi salah satu usaha kopi bubuk tertua di Lampung yang masih bertahan. Awalnya usaha kopi bubuk ini dirintis tahun 1917 dengan merek Njit Sin Hoo (Rajawali). Usaha ini sudah berkembang hingga generasi ketiga.
Usaha yang didirikan orang tua dari Lie Yung Hin ini dikelola oleh cucunya Willy Sukianto dan Lucas Sukianto. Dalam menjalankan usaha kopi bubuk ini mereka dibantu saudara dekatnya Vimala Dharma.
Menurut Vimala Dharma, pada awalnya kopi bubuk ini dibuat secara tradisional dengan digongseng di atas kuali yang ditaruh di atas tungku batu menggunakan kayu bakar. Lalu biji kopi yang sudah matang dan menghitam ini ditumbuk hingga halus. Selanjutnya Lie Yung Hin menjajakannya ke rumah-rumah warga di sekitar Teluk Betung dengan naik sepeda.
Saat itu, kopi dibonceng Lie menggunakan kaleng besar dan warga membeli dengan ukuran seperempat liter dan setengah liter. “Jadi belum ditimbang seperti sekarang ini,” kata Wiwik, panggilan Vimala Dharma dalam percakapan dengan SH, baru-baru ini.
Baru di era cucu Sukianto–generasi kedua--mulai dibangun kios di Jl Ikan Kakap No 57, Teluk Betung, Bandar Lampung.
Semula, penggongsengan dan penggilingan dilakukan di tempat ini, sedangkan proses pengolahan dipindahkan agak ke luar kota, yakni di Jl Yos Sudarso arah ke Panjang. Sementara untuk pembungkusan dan penjualan masih tetap di Jl Ikan Kakap. Saat ini PD Sinar Baru mempekerjakan 12 karyawan untuk mengolah kopi hingga menjualnya.
Kini penggorengan kopi sudah dilakukan di wadah berbentuk drum berkapasitas 5 kg yang diputar dengan dinamo dan bahan bakarnya diganti dari kayu ke solar. Tapi untuk menjaga cita rasa agar tidak berubah maka alat penggorengan kopi ini mereka buat sendiri. Penggilingan juga sudah lebih maju dengan menggunakan mesin penggilingan yang digerakkan mesin genset.
“Sebetulnya kami bisa saja membeli alat penggongseng modern yang sudah digital, tapi kami khawatir cita rasa kopi bubuk yang dihasilkan berbeda sehingga bisa merusak pasar yang telah dibangun selama ini,” jelasnya.
Robusta Talang Padang
Masih dalam upaya mempertahankan cita rasa, mereka memasok bahan baku dari daerah yang sama sejak berdirinya usaha kopi bubuk Cap Bola Dunia, yakni di Kecamatan Talang Padang, Kabupaten Tanggamus, Lampung. “Kami sudah memiliki pemasok yang tetap, di mana yang ditampung hanya biji kopi jenis robusta yang ditanam di Kecamatan Talang Padang,” urai Wiwik.
Kopi yang ditampung oleh pedagang pengumpul dari petani harus sudah kering betul dan bersih. Jika kadar airnya masih tinggi, kopi tersebut ditolak karena akan merusak citarasa jika diolah menjadi kopi bubuk. Selama musim panen kopi yang berlangsung dari Bulan Mei hingga September lalu, rata-rata dipasok 12 hingga 16 ton kopi per bulan ke gudang mereka di Jl Yos Sudarso, Panjang.
Dengan omzet rata-rata 300 kg per hari maka untuk menjaga kesinambungan produksi mereka harus menyetok bahan baku untuk empat hingga enam bulan ke depan. Kopi yang dipasok pedagang pengumpul ini disimpan dulu minimal dua hingga tiga bulan sebelum digongseng agar citarasanya tetap sama dengan produk sebelumnya.
Kalau sebelumnya dijual dalam bentuk kalengan seberat 1 kg, seiring dengan permintaan konsumen kini dibuat lebih beragam. Untuk kantongnya ada tiga macam yakni kaleng, aluminium foil, dan kertas kopi. Ukuran beratnya pun lebih bervariasi, mulai dari 50 gram, 100 gram, 250 gram, 500 gram, 1 kg, dan 2 kg.
Sebagai kopi bubuk yang sudah terkenal, belakangan banyak pengusaha lainnya yang membuat merek hampir mirip Kopi Sinar Baru, seperti Kopi Bola Dunia, Kopi Dunia Baru, Kopi Cap Sinar Dunia, dan lain-lain. “Ini memang risiko dagang. Tapi kita sulit menuntut karena tulisan dan logo tidak sama persis, meskipun Kopi Cap Bola Dunia sudah kami patenkan,” ungkap Willy menimpali.
Hanya biasanya jika konsumen sudah pernah mencicipi kopi Sinar Baru yang asli maka mereka tetap akan mencari yang asli karena cita rasanya berbeda. “Mungkin bungkus, logo, dan kemasan bisa ditiru, tapi cita rasa tetap beda,” jelasnya.
Atas konsistensinya menjaga cita rasa kopi bubuknya, tahun lalu Pemprov Lampung memberi penghargaan “Sidha Karya” kepada PD Sinar Dunia yang dinilai berhasil meningkatkan mutu produk usaha kecil dan menengah dan meningkatkan produksi. Oleh karena cita rasa yang khas itu pula, banyak pengusaha yang berminat menjadi distributor di Jakarta dan kota-kota lainnya, tapi Willy belum bisa melayani mereka karena kapasitas mesin pengolahan yang terbatas. n
Copyright © Sinar Harapan 2003
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
February 16, 2010
Kopi Lampung Sinar Dunia - Konsisten Menjaga Cita Rasa Selama Empat Generasi
Konsisten Menjaga Cita Rasa Selama Empat Generasi
Oleh
Syafnijal Datuk Sinaro
BANDAR LAMPUNG-Kopi Bubuk Sinar Baru, Cap “Bola Dunia” menjadi salah satu usaha kopi bubuk tertua di Lampung yang masih bertahan. Awalnya usaha kopi bubuk ini dirintis tahun 1917 dengan merek Njit Sin Hoo (Rajawali). Usaha ini sudah berkembang hingga generasi ketiga.
Usaha yang didirikan orang tua dari Lie Yung Hin ini dikelola oleh cucunya Willy Sukianto dan Lucas Sukianto. Dalam menjalankan usaha kopi bubuk ini mereka dibantu saudara dekatnya Vimala Dharma.
Menurut Vimala Dharma, pada awalnya kopi bubuk ini dibuat secara tradisional dengan digongseng di atas kuali yang ditaruh di atas tungku batu menggunakan kayu bakar. Lalu biji kopi yang sudah matang dan menghitam ini ditumbuk hingga halus. Selanjutnya Lie Yung Hin menjajakannya ke rumah-rumah warga di sekitar Teluk Betung dengan naik sepeda.
Saat itu, kopi dibonceng Lie menggunakan kaleng besar dan warga membeli dengan ukuran seperempat liter dan setengah liter. “Jadi belum ditimbang seperti sekarang ini,” kata Wiwik, panggilan Vimala Dharma dalam percakapan dengan SH, baru-baru ini.
Baru di era cucu Sukianto–generasi kedua--mulai dibangun kios di Jl Ikan Kakap No 57, Teluk Betung, Bandar Lampung.
Semula, penggongsengan dan penggilingan dilakukan di tempat ini, sedangkan proses pengolahan dipindahkan agak ke luar kota, yakni di Jl Yos Sudarso arah ke Panjang. Sementara untuk pembungkusan dan penjualan masih tetap di Jl Ikan Kakap. Saat ini PD Sinar Baru mempekerjakan 12 karyawan untuk mengolah kopi hingga menjualnya.
Kini penggorengan kopi sudah dilakukan di wadah berbentuk drum berkapasitas 5 kg yang diputar dengan dinamo dan bahan bakarnya diganti dari kayu ke solar. Tapi untuk menjaga cita rasa agar tidak berubah maka alat penggorengan kopi ini mereka buat sendiri. Penggilingan juga sudah lebih maju dengan menggunakan mesin penggilingan yang digerakkan mesin genset.
“Sebetulnya kami bisa saja membeli alat penggongseng modern yang sudah digital, tapi kami khawatir cita rasa kopi bubuk yang dihasilkan berbeda sehingga bisa merusak pasar yang telah dibangun selama ini,” jelasnya.
Robusta Talang Padang
Masih dalam upaya mempertahankan cita rasa, mereka memasok bahan baku dari daerah yang sama sejak berdirinya usaha kopi bubuk Cap Bola Dunia, yakni di Kecamatan Talang Padang, Kabupaten Tanggamus, Lampung. “Kami sudah memiliki pemasok yang tetap, di mana yang ditampung hanya biji kopi jenis robusta yang ditanam di Kecamatan Talang Padang,” urai Wiwik.
Kopi yang ditampung oleh pedagang pengumpul dari petani harus sudah kering betul dan bersih. Jika kadar airnya masih tinggi, kopi tersebut ditolak karena akan merusak citarasa jika diolah menjadi kopi bubuk. Selama musim panen kopi yang berlangsung dari Bulan Mei hingga September lalu, rata-rata dipasok 12 hingga 16 ton kopi per bulan ke gudang mereka di Jl Yos Sudarso, Panjang.
Dengan omzet rata-rata 300 kg per hari maka untuk menjaga kesinambungan produksi mereka harus menyetok bahan baku untuk empat hingga enam bulan ke depan. Kopi yang dipasok pedagang pengumpul ini disimpan dulu minimal dua hingga tiga bulan sebelum digongseng agar citarasanya tetap sama dengan produk sebelumnya.
Kalau sebelumnya dijual dalam bentuk kalengan seberat 1 kg, seiring dengan permintaan konsumen kini dibuat lebih beragam. Untuk kantongnya ada tiga macam yakni kaleng, aluminium foil, dan kertas kopi. Ukuran beratnya pun lebih bervariasi, mulai dari 50 gram, 100 gram, 250 gram, 500 gram, 1 kg, dan 2 kg.
Sebagai kopi bubuk yang sudah terkenal, belakangan banyak pengusaha lainnya yang membuat merek hampir mirip Kopi Sinar Baru, seperti Kopi Bola Dunia, Kopi Dunia Baru, Kopi Cap Sinar Dunia, dan lain-lain. “Ini memang risiko dagang. Tapi kita sulit menuntut karena tulisan dan logo tidak sama persis, meskipun Kopi Cap Bola Dunia sudah kami patenkan,” ungkap Willy menimpali.
Hanya biasanya jika konsumen sudah pernah mencicipi kopi Sinar Baru yang asli maka mereka tetap akan mencari yang asli karena cita rasanya berbeda. “Mungkin bungkus, logo, dan kemasan bisa ditiru, tapi cita rasa tetap beda,” jelasnya.
Atas konsistensinya menjaga cita rasa kopi bubuknya, tahun lalu Pemprov Lampung memberi penghargaan “Sidha Karya” kepada PD Sinar Dunia yang dinilai berhasil meningkatkan mutu produk usaha kecil dan menengah dan meningkatkan produksi. Oleh karena cita rasa yang khas itu pula, banyak pengusaha yang berminat menjadi distributor di Jakarta dan kota-kota lainnya, tapi Willy belum bisa melayani mereka karena kapasitas mesin pengolahan yang terbatas. n
Copyright © Sinar Harapan 2003
Oleh
Syafnijal Datuk Sinaro
BANDAR LAMPUNG-Kopi Bubuk Sinar Baru, Cap “Bola Dunia” menjadi salah satu usaha kopi bubuk tertua di Lampung yang masih bertahan. Awalnya usaha kopi bubuk ini dirintis tahun 1917 dengan merek Njit Sin Hoo (Rajawali). Usaha ini sudah berkembang hingga generasi ketiga.
Usaha yang didirikan orang tua dari Lie Yung Hin ini dikelola oleh cucunya Willy Sukianto dan Lucas Sukianto. Dalam menjalankan usaha kopi bubuk ini mereka dibantu saudara dekatnya Vimala Dharma.
Menurut Vimala Dharma, pada awalnya kopi bubuk ini dibuat secara tradisional dengan digongseng di atas kuali yang ditaruh di atas tungku batu menggunakan kayu bakar. Lalu biji kopi yang sudah matang dan menghitam ini ditumbuk hingga halus. Selanjutnya Lie Yung Hin menjajakannya ke rumah-rumah warga di sekitar Teluk Betung dengan naik sepeda.
Saat itu, kopi dibonceng Lie menggunakan kaleng besar dan warga membeli dengan ukuran seperempat liter dan setengah liter. “Jadi belum ditimbang seperti sekarang ini,” kata Wiwik, panggilan Vimala Dharma dalam percakapan dengan SH, baru-baru ini.
Baru di era cucu Sukianto–generasi kedua--mulai dibangun kios di Jl Ikan Kakap No 57, Teluk Betung, Bandar Lampung.
Semula, penggongsengan dan penggilingan dilakukan di tempat ini, sedangkan proses pengolahan dipindahkan agak ke luar kota, yakni di Jl Yos Sudarso arah ke Panjang. Sementara untuk pembungkusan dan penjualan masih tetap di Jl Ikan Kakap. Saat ini PD Sinar Baru mempekerjakan 12 karyawan untuk mengolah kopi hingga menjualnya.
Kini penggorengan kopi sudah dilakukan di wadah berbentuk drum berkapasitas 5 kg yang diputar dengan dinamo dan bahan bakarnya diganti dari kayu ke solar. Tapi untuk menjaga cita rasa agar tidak berubah maka alat penggorengan kopi ini mereka buat sendiri. Penggilingan juga sudah lebih maju dengan menggunakan mesin penggilingan yang digerakkan mesin genset.
“Sebetulnya kami bisa saja membeli alat penggongseng modern yang sudah digital, tapi kami khawatir cita rasa kopi bubuk yang dihasilkan berbeda sehingga bisa merusak pasar yang telah dibangun selama ini,” jelasnya.
Robusta Talang Padang
Masih dalam upaya mempertahankan cita rasa, mereka memasok bahan baku dari daerah yang sama sejak berdirinya usaha kopi bubuk Cap Bola Dunia, yakni di Kecamatan Talang Padang, Kabupaten Tanggamus, Lampung. “Kami sudah memiliki pemasok yang tetap, di mana yang ditampung hanya biji kopi jenis robusta yang ditanam di Kecamatan Talang Padang,” urai Wiwik.
Kopi yang ditampung oleh pedagang pengumpul dari petani harus sudah kering betul dan bersih. Jika kadar airnya masih tinggi, kopi tersebut ditolak karena akan merusak citarasa jika diolah menjadi kopi bubuk. Selama musim panen kopi yang berlangsung dari Bulan Mei hingga September lalu, rata-rata dipasok 12 hingga 16 ton kopi per bulan ke gudang mereka di Jl Yos Sudarso, Panjang.
Dengan omzet rata-rata 300 kg per hari maka untuk menjaga kesinambungan produksi mereka harus menyetok bahan baku untuk empat hingga enam bulan ke depan. Kopi yang dipasok pedagang pengumpul ini disimpan dulu minimal dua hingga tiga bulan sebelum digongseng agar citarasanya tetap sama dengan produk sebelumnya.
Kalau sebelumnya dijual dalam bentuk kalengan seberat 1 kg, seiring dengan permintaan konsumen kini dibuat lebih beragam. Untuk kantongnya ada tiga macam yakni kaleng, aluminium foil, dan kertas kopi. Ukuran beratnya pun lebih bervariasi, mulai dari 50 gram, 100 gram, 250 gram, 500 gram, 1 kg, dan 2 kg.
Sebagai kopi bubuk yang sudah terkenal, belakangan banyak pengusaha lainnya yang membuat merek hampir mirip Kopi Sinar Baru, seperti Kopi Bola Dunia, Kopi Dunia Baru, Kopi Cap Sinar Dunia, dan lain-lain. “Ini memang risiko dagang. Tapi kita sulit menuntut karena tulisan dan logo tidak sama persis, meskipun Kopi Cap Bola Dunia sudah kami patenkan,” ungkap Willy menimpali.
Hanya biasanya jika konsumen sudah pernah mencicipi kopi Sinar Baru yang asli maka mereka tetap akan mencari yang asli karena cita rasanya berbeda. “Mungkin bungkus, logo, dan kemasan bisa ditiru, tapi cita rasa tetap beda,” jelasnya.
Atas konsistensinya menjaga cita rasa kopi bubuknya, tahun lalu Pemprov Lampung memberi penghargaan “Sidha Karya” kepada PD Sinar Dunia yang dinilai berhasil meningkatkan mutu produk usaha kecil dan menengah dan meningkatkan produksi. Oleh karena cita rasa yang khas itu pula, banyak pengusaha yang berminat menjadi distributor di Jakarta dan kota-kota lainnya, tapi Willy belum bisa melayani mereka karena kapasitas mesin pengolahan yang terbatas. n
Copyright © Sinar Harapan 2003
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment