March 24, 2010

Kopi Legendaris Semakin Tua Semakin Mantap - Kopi eva

Kopi Eva, Bijinya Tahan Hingga 10 Tahun

Sejak didirikan tahun 1954 hingga sekarang, R. Mich. Tjiptomartoyo (86) yang biasa dipanggil Pak Cip masih terlibat secara langsung menangani Eva Coffeehouse yang ia dirikan di dataran tinggi Ambarawa, Jawa Tengah. Lulusan sekolah dagang Belanda ini masih tekun melakukan audit keuangan secara manual di belakang meja kasir. Tanpa bantuan kacamata, ia mencatat perubahan harga bahan baku sambil sesekali menyapa pelanggan setianya. Dibantu lima anak perempuannya, ia mengelola warung kopi sejak pukul 06.00 WIB hingga 21.00 WIB.

Lokasi strategis Eva Coffeehouse yang terletak di jalan raya yang menjadi penghubung Semarang dan Jogjakarta menyebabkan banyak orang yang tengah ada di perjalanan singgah untuk berisitirahat. “Biasanya mereka juga butuh tempat istirahat dan buang air kalau sedang di tengah perjalanan. Makanya kami menyediakan banyak toilet,” kisah Maria Budiastuti (50), generasi kedua kopi Eva.

Strategi itu bisa jadi berhasil, karena hingga kini banyak sekali rombongan turis yang menuju Borobudur, Magelang atau Yogyakarta dari Semarang atau sebaliknya mampir untuk meregangkan otot dan minum kopi. Turis yang datang tak hanya turis domestik. Banyak juga rombongan turis mancanegara yang datang untuk menikmati kopi Eva yang legendaris. Kopi Eva yang diminum panas-panas sangat cocok dengan udara Ambarawa yang dingin. Apalagi dari ruang serbaguna Eva Coffeehouse yang biasa digunakan untuk menyambut tamu rombongan, pengunjung bisa menikmati pemandangan kota Ambarawa dan kebun kopi milik Cip. Ia pun menyediakan berbagai macam suvenir bagi turis yang ingin membeli buah tangan khas Jawa Tengah.

Kesuksesan kopi Eva, tak lain karena kedekatan Pak Cip dengan beberapa pejabat penting di masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, saat ia tergabung dalam Brigade 17. Karena efek kedekatan itu, banyak di antara mereka yang memasok kebutuhan kopi untuk institusi yang dipimpinnya dari kopi Eva.

Sayangnya, setelah pergantian pejabat, tak banyak institusi yang masih membeli kopi darinya. Hanya beberapa pabrik dan perkantoran saja yang masih memesan kopi Eva. Selain itu, Cip tidak mendistribusikan kopi Eva ke luar kota karena alasan biaya. “Terlalu mahal, jadi kami hanya mengirim kalau ada yang memesan atau ke pabrik yang sudah jadi langganan. Lagipula enggak ada resiko kopi enggak laku dan dikembalikan,”.


Kopi Eva, selain dijual dalam bentuk siap minum, juga dijual dalam bentuk bubuk, biji, bahkan sirup. Sirup kopi Eva dikemas dalam botol dan bisa disajikan hangat atau dingin. Setelah dibuka, simpan saja botolnya dalam lemari es. Rahasia kopi Eva ada pada proses pencucian biji dan obat yang digunakan agar biji kopi takkan dimakan serangga meski disimpan hingga 10 tahun.

Hingga sekarang, kopi Eva masih menggunakan biji kopi dari kebunnya sendiri. “Kalau kurang kami beli dari kebun tetangga. Sejauh ini sih selalu kurang,” kata Cip. Selain kopinya yang sudah dikenal hingga mancanegara, andalan mereka adalah Tahu khas kopi Eva dan Gudeg Manggar yang dibuat berdasarkan resep rahasia mendiang sang istri.

Sama seperti kopi-kopi klasik yang lain, Cip mengaku tak banyak keuntungan yang ia dapat. Apalagi, ia hanya mengandalkan penjualan di Eva Coffeehouse. Harga kopi per gelas masih ia jual Rp 5 ribu, sementara kopi bubuk Rp 20 ribu/seperempat kg, dan sirup kopi Rp 25 ribu/botol. Dengan harga semurah itupun masih banyak yang meminta harga kopi tak dinaikkan. Banyak pihak yang mengajak kerjasama ditolaknya untuk menghindari kecurangan bisnis yang berakhir pada kerugian.

Untuk mempertahankan pelanggan, Cip hanya berusaha mempertahankan rasa kopi Eva. “Jadi kalau dulu ada orang waktu kecil dibawa orangtuanya minum kopi Eva, sekarang dia ke sini sudah membawa cucu tapi rasa kopi Eva masih sama”. Lalu bagaimana ia mempertahankan rasa kopi Eva selama puluhan tahun? “Itu rahasia kopi Eva!” ujarnya sambil tertawa.

Dewi Sita/Nova diambil dari tabloidnovadotcom

No comments:

Post a Comment

March 24, 2010

Kopi Legendaris Semakin Tua Semakin Mantap - Kopi eva

Kopi Eva, Bijinya Tahan Hingga 10 Tahun

Sejak didirikan tahun 1954 hingga sekarang, R. Mich. Tjiptomartoyo (86) yang biasa dipanggil Pak Cip masih terlibat secara langsung menangani Eva Coffeehouse yang ia dirikan di dataran tinggi Ambarawa, Jawa Tengah. Lulusan sekolah dagang Belanda ini masih tekun melakukan audit keuangan secara manual di belakang meja kasir. Tanpa bantuan kacamata, ia mencatat perubahan harga bahan baku sambil sesekali menyapa pelanggan setianya. Dibantu lima anak perempuannya, ia mengelola warung kopi sejak pukul 06.00 WIB hingga 21.00 WIB.

Lokasi strategis Eva Coffeehouse yang terletak di jalan raya yang menjadi penghubung Semarang dan Jogjakarta menyebabkan banyak orang yang tengah ada di perjalanan singgah untuk berisitirahat. “Biasanya mereka juga butuh tempat istirahat dan buang air kalau sedang di tengah perjalanan. Makanya kami menyediakan banyak toilet,” kisah Maria Budiastuti (50), generasi kedua kopi Eva.

Strategi itu bisa jadi berhasil, karena hingga kini banyak sekali rombongan turis yang menuju Borobudur, Magelang atau Yogyakarta dari Semarang atau sebaliknya mampir untuk meregangkan otot dan minum kopi. Turis yang datang tak hanya turis domestik. Banyak juga rombongan turis mancanegara yang datang untuk menikmati kopi Eva yang legendaris. Kopi Eva yang diminum panas-panas sangat cocok dengan udara Ambarawa yang dingin. Apalagi dari ruang serbaguna Eva Coffeehouse yang biasa digunakan untuk menyambut tamu rombongan, pengunjung bisa menikmati pemandangan kota Ambarawa dan kebun kopi milik Cip. Ia pun menyediakan berbagai macam suvenir bagi turis yang ingin membeli buah tangan khas Jawa Tengah.

Kesuksesan kopi Eva, tak lain karena kedekatan Pak Cip dengan beberapa pejabat penting di masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, saat ia tergabung dalam Brigade 17. Karena efek kedekatan itu, banyak di antara mereka yang memasok kebutuhan kopi untuk institusi yang dipimpinnya dari kopi Eva.

Sayangnya, setelah pergantian pejabat, tak banyak institusi yang masih membeli kopi darinya. Hanya beberapa pabrik dan perkantoran saja yang masih memesan kopi Eva. Selain itu, Cip tidak mendistribusikan kopi Eva ke luar kota karena alasan biaya. “Terlalu mahal, jadi kami hanya mengirim kalau ada yang memesan atau ke pabrik yang sudah jadi langganan. Lagipula enggak ada resiko kopi enggak laku dan dikembalikan,”.


Kopi Eva, selain dijual dalam bentuk siap minum, juga dijual dalam bentuk bubuk, biji, bahkan sirup. Sirup kopi Eva dikemas dalam botol dan bisa disajikan hangat atau dingin. Setelah dibuka, simpan saja botolnya dalam lemari es. Rahasia kopi Eva ada pada proses pencucian biji dan obat yang digunakan agar biji kopi takkan dimakan serangga meski disimpan hingga 10 tahun.

Hingga sekarang, kopi Eva masih menggunakan biji kopi dari kebunnya sendiri. “Kalau kurang kami beli dari kebun tetangga. Sejauh ini sih selalu kurang,” kata Cip. Selain kopinya yang sudah dikenal hingga mancanegara, andalan mereka adalah Tahu khas kopi Eva dan Gudeg Manggar yang dibuat berdasarkan resep rahasia mendiang sang istri.

Sama seperti kopi-kopi klasik yang lain, Cip mengaku tak banyak keuntungan yang ia dapat. Apalagi, ia hanya mengandalkan penjualan di Eva Coffeehouse. Harga kopi per gelas masih ia jual Rp 5 ribu, sementara kopi bubuk Rp 20 ribu/seperempat kg, dan sirup kopi Rp 25 ribu/botol. Dengan harga semurah itupun masih banyak yang meminta harga kopi tak dinaikkan. Banyak pihak yang mengajak kerjasama ditolaknya untuk menghindari kecurangan bisnis yang berakhir pada kerugian.

Untuk mempertahankan pelanggan, Cip hanya berusaha mempertahankan rasa kopi Eva. “Jadi kalau dulu ada orang waktu kecil dibawa orangtuanya minum kopi Eva, sekarang dia ke sini sudah membawa cucu tapi rasa kopi Eva masih sama”. Lalu bagaimana ia mempertahankan rasa kopi Eva selama puluhan tahun? “Itu rahasia kopi Eva!” ujarnya sambil tertawa.

Dewi Sita/Nova diambil dari tabloidnovadotcom

No comments:

Post a Comment